Rabu, 23 April 2008

SASTRA KARO SELAYANG DIPANDANG



SASTRA KARO SELAYANG DIPANDANG
Medi Juna Sembiring

ERA SASTRA KARO

Sejak kapankah sastra Karo ada ? sejauh penelitian yang dilakukan penulis, tidak ada penanggalan yang akurat perihal masa pelontaran sastra Karo. Namun, guna memudahkan penelaahan, era sastra Karo dapat dibagi dalam dua masa, yakni Era Klasik dan Era Modern. Yang dimaksud dengan Era Klasik, adalah karya sastra yang lahir sebelum 28 Oktober 1928, yang bercorak cipta kedaerahan. Tema-tema yang di usung, lebih mengedepankan dongeng dan mitos. Seperti, hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan bisa berbicara. Peperangan antara gunung sibayak dan sinabung.

Seperti kisah Ampie Ampio. Cerita rakyat Karo ini berkisahkan tentang suami istri yang berubah menjadi burung. Hal ini dikarenakan anak-anak mereka sangat malas, suka melawan orangtua dan suka berkelahi satu sama lain. Meskipun telah dinasehati berkali-kali, tetap saja tidak ada pertobatan dari anak-anak tersebut. Karena keputusasaan, akhirnya ayah dan ibu mereka berdoa, bersumpah dan meminta agar takdir kehidupannya dirubah apabila anak-anak mereka tetap tidak berubah.

Doa ayah dan ibu tersebut dianggap angin lalu oleh anak-anak mereka. Di penghujung keputusasaan, akhirnya orangtua mereka meminta kepada Penguasa Kehidupan, agar diri mereka diubah menjadi burung yang akan terbang kesana-kemari. Sehingga diri mereka terlepas dari beban penderitaan hidup. AKhirnya, sepasang suami istri tersebut berubah menjadi sepasang burung.

Semenjak kejadian ini, perubahan drastis terjadi pada anak-anak mereka yang merasakan kehilangan mendalam. Mereka sangat menyesali tingkah laku mereka. Yang tadinya malas dan suka bertengkar, tiba-tiba menjadi akur dan rajin sekali. Setiap senja tiba, anak-anak mereka selalu bernyanyi sambil menengadah ke langit ;
Ampie ampio, sora kami erlebuh bandu
Ampie ampio, ulihi kami nande bapa kami
Ampie ampio, ukur metedeh kami la erngadi-ngadi

Ampie ampio melukiskan suara siulan untuk memanggil burung. Pemaknaannya dalam bahasa Indonesia ;

Ampie ampio, suara kami memanggil-manggil dirimu.
Ampie ampio, kembalilah kepada kami wahai ayah ibu kami
Ampie ampio, rasa rindu di hati kami datang tiada hentinya

Penyesalan selalu datang terlambat. Ayah ibu mereka tidak dapat lagi berubah menjadi manusia. Kisah ini sering dijadikan orangtua sebagai dongeng bagi anak-anak mereka sebelum tidur. Dongeng ini memiliki amanah utama, agar anak-anak tidak malas, cinta orangtua dan akur dengan saudara-saudaranya. Amanah tambahan, agar manusia juga mencintai margasatwa yang ada. Karena di ujung cerita diungkapkan, anak-anak tersebut tidak lagi mengenal burung yang mana yang menjadi jelmaan orangtua mereka. Akhirnya, mereka sangat mencintai setiap burung. Dan setiap senja, mereka menaburkan makanan burung di halaman rumah mereka. Dengan harapan, dari puluhan burung yang datang untuk makan, dua diantaranya adalah orangtua mereka.

Sementara Era Modern, ditandai lahirnya nasionalitas Indonesia dengan pengakuan secara resmi bahasa Indonesia dan tanah air Indonesia. Meskipun demikian, penulis belum ada menemukan karya sastra Karo yang bertemakan nasionalitas Indonesia pada masa tersebut. Walaupun begitu, setidaknya gaung Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, juga membahana ke bumi turang meski terlambat beberapa waktu, karena minimnya sarana komunikasi. Tema-tema yang diusung, didominasi oleh gambaran kehidupan social kemasyarakatan.

Pemandangan yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada sastra Indonesia. Beragam pendapat muncul perihal tonggak kelahiran kesusastraan Indonesia. Menurut pandangan Nugroho Notosusanto sebagaimana dikemukakan Rachmat Djoko Pradopo dalam buku Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, 1995, kesusastraan Indonesia lahir seiring berdirinya organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia yang pertama, yakni Budi Utomo, pada 20 Mei 1908.

Namun, penentuan kelahiran tersebut, harus juga didasarkan pada adanya karya sastra nyata, yang bersifat nasional. Kenyataannya, pada tanggal tersebut belum ada karya sastra yang bersifat nasional Indonesia. Ada karya sastra yang terbit sekitar tahun 1920 yang telah berciri nasional dengan bahasa Indonesia. Yakni, roman Student Hidjo karya Mas Marco, 1919 dan Hikayat Kadirun karya Semaun, 1920. Sementara pengakuan secara resmi perihal bahasa, bangsa dan tanah air Indonesia baru dikumandangkan pada 28 Oktober 1928.
Pergumulan dan kegelisahan perihal bunga rampai sastra daerah dan nasional, tidaklah perlu dianggap sebagai penghalang. Tetapi akan lebih nikmat bila dijadikan santapan awal guna menggeluti lebih jauh perihal khasanah sastra. Lebih baik menjaga dan melestarikan apa yang masih tersisa, sembari tetap mencari apa yang masih terasa hilang.

Secara tidak langsung, mau atau tidak mau, sastra Karo merupakan bagian dari sastra Indonesia. Sebab, khasanah kesusasteraan nasional Indonesia, ditopang oleh kesusasteraan daerah yang terdapat dari Sabang hingga Merauke. Jadi, yang menjadi substansi kegelisahan, adalah bagaimana agar Sastra Karo menjadi eksis dan tidak tenggelam diantara `hiruk pikuk` kesusasteraan di Indonesia.

Agar sastra Karo dapat dikenal secara nasional dan internasional, maka sastra Karo itu harus memakai `jalan pengenalan` yang diakui publik sesuai dengan segmen sasaran yang ingin dicapai. Misalkan, menggunakan bahasa Indonesia untuk tingkat nasional, dan minimal menggunakan bahasa Inggris untuk kalangan internasional.

Sementara, penilaian akan kwalitas sebuah karya sastra, cenderung bersifat relatif. Karena, ini tergantung `kaca mata` penelaahan yang dipakai si penerima (pembaca) karya, dan tergantung bagaimana si pembuat karya menyampaikan pesan melalui karyanya. Penilaian tersebut berlaku umum. Terlepas dari pergumulan di atas, upaya-upaya untuk menggali dan mengembangkan karya sastra Karo, baik yang berkembang di Era Karo Klasik dan Era Karo Modern, perlu terus digalakkan. Karya sastra merupakan cerminan sosial sebuah peradaban yang mengandung amanah-amanah kehidupan. sebagaimana kaidah sastra, maka dia akan berkembang dan tumbuh seiring zamannya.

DEFENISI SASTRA KARO
Apakah defenisi sastra Karo ? Apa ciri khas sastra Karo dibandingkan karya sastra suku bangsa lainnya yang ada di Indonesia?. Berbicara tentang Karo, tentu ada dua poin utama. Yakni orangnya dan alam ulayatnya. Merujuk hal tersebut, maka sastra Karo, tentunya karya sastra yang bertautan erat dengan unsur-unsur berikut, yakni :

Pertama, bertautan dengan orang Karo dan system kekerabatan yang dianutnya. Yakni, Merga Silima (Ginting, Karo-karo, Perangin-angin, Sembiring dan Tarigan.), Rakut Sitelu (anak beru, senina/sembuyak dan kalimbubu), Tutur Siwaluh (sipemeren, siparibanen, sipengalon, anak beru, anak beru menteri, anak beru singikuri, kalimbubu, puang kalimbubu) dan Perkade-kaden Sepulu Dua + Sada (Unsur Sepulu Dua = nini, bulang, kempu, bapa, nande, anak, bengkila, bibi, permen, mama, mami, bere-bere).

Sedangkan untuk unsur Sada, beragam pendapat muncul mengenai apa yang dimaksud dengan Sada (Satu) tersebut. Ada tiga tafsir yang muncul. Pertama, Sada merupakan perwakilan dari adanya keyakinan, bahwa terdapat kekuatan yang ada di luar unsur manusia. Keberadaannya tidak terlihat, namun dapat dirasakan. Dia diyakini memiliki kekuasaan atas alam dan manusia. Kedua, Sada merupakan perwakilan dari Ketuhanan sebagaimana yang digambarkan oleh kepercayaan/agama-agama yang masuk ke wilayah nusantara, khususnya wilayah yang didiami suku Karo. Tafsir ketiga, Sada merupakan perwakilan dari suku bangsa lainnya, yang hidup berdampingan dengan suku Karo. Lebih jauhnya lagi, orang yang berasal dari suku bangsa lainnya tersebut, ditabalkan memeluk salah satu dari silima merga. Misalkan karena perkawinan silang, atau eratnya rasa persaudaraan yang terjalin. Dalam beberapa kasus sekarang ini, penabalan merga kepada yang di luar suku Karo, sudah cenderung bermotifkan kebutuhan politik.

Bila merunut ke belakang, ditambahi lagi dengan informasi-informasi yang diperoleh penulis semasa masih remaja (1990-an) dari Alm. Sapih br Purba, yang saat itu berusia 82 tahun, maka penulis cenderung berpendapat kalau yang dimaksud dengan unsur Sada dalam system kekerabatan masyarakat Karo, adalah tafsir yang pertama.

Kedua, mengandung unsur alam/wilayah ulayat Karo. Merujuk kepada hasil rekomendasi dari Kongres Kebudayaan Karo 1996, maka yang disebut dengan Tanah Karo adalah meliputi enam (6) wilayah yang di kawasan tersebut dihuni banyak masyarakat Karo. Antara lain :

1. Kabupaten Karo
2. Kabupaten Dairi (2 Kecamatan : Tiga Lingga dan Taneh Pinem)
3. Kabupaten Deli Serdang (13 Kecamatan : Lubuk Pakam, Bangun Purba, Galang, Gunung Meriah, Sibolangit, Pancur Batu, Namo Rambe, Sunggal, Kutalimbaru, STM Hilir, Hamparan Perak, Tanujung Morawa dan Sibiru-biru)
4. Kabupaten Langkat (8 Kecamatan : Padang Tualang/Batang Serangan, Bahorok, Salapian, Kuala, Selesai, Sungai Bingai, Binjai dan Stabat)
5. Sebagian Aceh Tenggara, yakni daerah Lau Desky, Lau Sigala-gala, Lau Perbunga serta Kecamatan Simadam.
6. Kotamadya Medan, yang dikatakan didirikan Guru Patimpus Sembiring Pelawi.
Ketiga, bahasa penyajian adalah bahasa Karo. Idealnya, menggunakan aksara Surat Haru yang dilandasi tulisan Nagari yang dibawa migran dari India sembari memperkenalkan agama Budha sekitar abad ke-5. Minimal, menggunakan bahasa Karo yang dilandasi huruf latin.

Untuk kwalifikasi pertama dan kedua di atas, adalah hal yang tidak merepotkan untuk masa yang sekarang. Namun, ketika memasuki poin yang ketiga, tentu banyak pergumulan yang perlu direnungkan. Jangankan dulu untuk orang di luar Karo, namun, untuk kalangan masyarakat Karo sendiri, diyakini tidak ada lima persen pun yang masih memahami Surat Haru. Namun, bilamana untuk kebutuhan lokal, dan tujuan untuk melestarikan warisan leluhur, ketiga kwalifikasi di atas perlu dijadikan rujukan utama. Meski demikian, upaya untuk membangun pembelajaran tentang Surat Haru, perlu terus digenjot.

Pemandangan lainnya perihal bahasa adalah, perbedaan mengenai dialek Karo itu sendiri. Menurut penelitian Darwin Prinst, dialek Karo itu terbagi lima. Yakni, Teruh Deleng, Singalur Lau, Liang Melas, Jahe dan Julu. Sedangkan bila menurut pendapat Henry Guntur Tarigan, bahasa Karo terdiri dari tiga dialek utama. Yaitu, Dialek Gunung-gunung, Dialek Kabanjahe dan Dialek Jahe-jahe. Perbedaan dialek tersebut, tentu mempengaruhi pencitraan karya baik melalui lisan atau tulisan. Terutama tulisan yang menggunakan huruf Latin. Sebab, metode pengucapan mempengaruhi penulisan. Belum diketahui pasti, apakah hal tersebut juga akan terjadi bila menggunakan Aksara Haru.

JENIS-JENIS SASTRA KARO
Merujuk kepada Rumusan Seminar Adat Istiadat Karo ke-3 yang diadakan di Kabanjahe, 16-19 Februari 1977, maka jenis ragam sastra yang diwarisi masyarakat Karo adalah : Cakap Lumat, Talibun Gurindam, Lak-lak Kayu, Buku-buku Pustaka, Lagu Tabas-tabas, Lagu Pingko-pingko, Lagu Tangis-tangis dan Lagu Kolong-kolong.

Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan dalam Bunga Rampai Seminar Kebudayaan Karo dan Kehidupannya Masa Kini, Kabanjahe, September 1985, mengemukakan, masyarakat Karo memiliki tradisi sastra lisan dan tulisan.

Sastra lisan merupakan suatu tradisi pada masyarakat Karo. Sastra lisan ini biasanya dipergunakan pada upacara-upacara adat. Seperti upacara melamar gadis, upacara perkawinan, upacara kelahiran anak, upacara menghormati orang yang berusia lanjut, upacara kematian, upacara peletakan batu pertama mendirikan rumah, upacara memasuki rumah baru, upacara memanggil roh, upacara menanam dan menuai padi, upacara pesta tahunan, upacara menolak roh-roh jahat, upacara memanggil hujan, upacara menolak hujan dan lain sebagainya

Bentuk-bentuk sastra lisan yang terkenal pada masyarakat Karo, antara lain:

Ndungdungen : Dapat disamakan dengan pantun Melayu, biasanya terdiri dari 4 baris bersajak abad. Dua baris pertama berisi sampiran dan dua baris terakhir merupakan isi.

Bilang-bilang : Yang berupa ‘dendang duka’, biasanya didendangkan dengan ratapan oleh orang-orang yang pernah mengalami duka nestapa, seperti ibu yang telah meninggal dunia, meratapi idaman hati yang telah direbut orang lain atau pergi mengembara ke rantau orang.

Cakap Lumat : Atau ‘bahasa halus’ yang penuh dengan bahasa kias, pepatah pepitih, perumpamaan, pantun, teka-teki, dan lain-lain. Cakap lumat biasanya digunakan oleh bujang dan gadis bersahut-sahutan pada masa pacaran dimalam terang bulan; atau oleh orang tua pemuka adat dalam berbagai upacara, misalnya upacara meminang gadis.

Turin-turin : Atau cerita berbentuk prosa, misalnya mengenai asal usul marga, asal-usul kampung, cerita bintang, cerita orang sakti, cerita jenaka dan lain-lain. Biasanya diceritakan oleh orangtua pada malam hari menjelang tidur.

Tabas-tabas : Atau mantra-mantra yang pada umumnya hanya para dukun saja yang mengetahuinya. Konon kabarnya kalau para mantra sudah diketahui orang banyak maka keampuhannya akan hilang.

Kuning-kuningen : Atau ‘teka-teki’ yang dipergunakan oleh anak-anak, pemuda-pemudi,orang dewasa diwaktu senggang sebagai permainan disamping mengasah otak.

Sastra tulis juga dikenal oleh masyarakat Karo. Sastra tulis pada masa lampau, sebelum lahirnya mesin cetak, menggunakan laklak atau kulit kayu dan bamboo sebagai media komunikasi. Tulisan tersebut menggunakan surat Karo ’Aksara Karo’ yang berupa huruf silabis ( semua huruf atau silabe dasar berbunyi a ) yang biasa disebut: haka bapa nawa yang merupakan enam silabe pertama aksara Karo.

BEBERAPA KARYA ORANG KARO DI ERA 50-AN, 60-AN DAN 70-AN
MENGENAI SASTRA DAN KEBUDAYAAN KARO


Pada tahun 1952, Balai Pustaka menerbitkan karya P. Tamboen ‘Adat Istiadat Karo’ (206). Buku ini merupakan pelopor mengenai adat istiadat Karo karya putra Karo sendiri. Buku ini terdiri atas 11 bab, yang berturut-turut memaparkan mengenai letak geografis, sejarah penduduk, pemerintahan, pengadilan, keuangan, persawahan, pengajaran, kesehatan, bank anak negeri.

Pada tahun 1958 Toko Bukit menerbitkan “Isi Kongres 1958” yang berjudul Sejarah Adat Istiadat dan Tata Susunan Rakyat Karo (134 halaman). Dalam Kongres Kebudayaan Karo yang diketuai oleh Mr. Roga Ginting terdapat seksi adat yang terdiri atas 4 subseksi, yaitu :
1. Sejarah Adat/Tata Susunan Rakyat
2. Adat Kekeluargaan
3. Hukum Adat Tanah
4. Hukum Perselisihan.

Pada tahun 1960, Masri Singarimbun menampilkan karyanya ‘1000 Perumpamaan Karo’ yang diterbitkan oleh CV. Ulih Saber di Medan. Suatu usaha yang amat berguna bagi masyarakat Karo serta pendokumentasian bahasa dan sastra Karo. Sayang teks perumpamaan Karo itu tidak disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Hal ini menyebabkan penyebarluasannya terbatas pada masyarakat Karo serta orang-orang yang mengerti bahasa Karo saja. Tebal buku 175 halaman.

Pada tahun 1965, Henry Guntur Tarigan menerbitkan ‘nurenure di Karo’ (85 halaman) di bandung, yang memuat percakapan dalam cakap lumat ‘bahasa halus’ antara bujang dan gadis, mulai dari pertemuan pertama, masa pacaran, sampai perkawinan. Teks bahasa Karo disertai dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia.

Pada tahun 1972 di Bandung, Henry Guntur Tarigan dan Djago Tarigan telah menerbitkan dua jilid ‘ Syair Lagu-lagu Karo’, masing-masing 105 halaman dan 110 halaman yang masing-masing memuat 41 dan 45 teks syair lagu Karo disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia.
Pada tahun 1972, Rahmat Tarigan tampil dengan karyanya ‘Tambaten Pusuh’ (108 halaman) yang merupakan kumpulan 4 cerita pendek dan 26 puisi. Teks bahasa Karo disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia.

Pada tahun 1975, Penerbit Yayasan Kobe di Delitua, Medan, telah menerbitkan cerita ‘Pawang Ternalem’( dalam dua jilid ).

Pada tahun 1976, Jaman Tarigan telah menyelesaikan penyusunan Pantun Karo: Anak Perana ras Singuda-nguda yang diterbitkan oleh Percetakan Toko Buku Mbelin Gunana di Kabanjahe ( 145 untai pantun )

Pada tahun 1976, Toko Bukit menerbitkan brosur, yaitu karya Raja Malem Bukit yang berjudul “Peranan Marga Dalam Perkawinan Adat Karo” (30 halaman). Kedua karya di atas, yaitu karya Jaman Tarigan dan Raja Malem Bukit dapat saling mengisi, saling melengkapi satu sama lain.

Pada tahun 1977, Henry Guntur Tarigan telah menyusun sebuah naskah ‘Tabas-tabas Karo’ ( 40 halaman). Teks bahasa Karo disertai terjemahan bahasa Indonesia.
Pada tahun 1977, Henry Guntur Tarigan menerbitkan ‘Percikan Budaya Karo’ yang merupakan kumpulan karangan mengenai budaya Karo yang pernah dimuat dalam beberapa majalah di Jakarta, Bandung, Jogya (229 halaman)

Pada tahun 1977, Toko Bukit menerbitkan karya Ngukumi Barus dengan judul ‘Guru Pertawar Reme ras Perdagang Ganggang’ ( 24 halaman ) dalam bahasa Karo tanpa terjemahan dalam bahasa Indonesia. Dan pada tahun 1978 Toko Bukit pun menerbitkan ‘ Sekelumit Dari Cerita-cerita Karo’ (30 halaman) yang dikumpulkan oleh S.P. Keliat.

Pada tahun 1977, Palestin Sitepu muncul dengan karyanya yang berjudul “Kesenian Tradisional Karo” (58 halaman), di Medan. Buku ini terdiri atas 14 bab yang berturut-turut membicarakan : seni musik Karo tradisionil, pola teori Karo tradisionil, peraturan-peraturan gendang, upacara kematian, para seniman tradisionil Karo, ose-ose (busana tradisional Karo), teori jenis hiburan, guro-guro aron, nure-nure, upacara-upacara religius, upacara berhubungan dengan adat-istiadat, rumah adat Karo, merga silima, pentahbisan merga kepada orang bukan orang Karo.

Pada tahun 1978, Henry Guntur Tarigan telah pula menyelesaikan naskah ‘Tendi Nipi’ Tafsir Mimpi, (100 halaman). Setiap teks mimpi disertai terjemahan dan penjelasan dalam bahasa Indonesia.

Pada tahun 1978, Toko Bukit menerbitkan sebuah brosur karya seorang pensiunan ABRI, Jaman Tarigan yang berjudul “Gelemen Merga Silima, Iket Sitelu, Tutur Siwaluh Kalak Karo” (25 halaman), yang memaparkan apa yang disebut ‘Merga Silima’ (Karokaro, Ginting, Perangin-angin, Sembiring, Tarigan), apa yang disebut ‘Iket Sitelu’ (senina, kalimbubu, anak beru) dan apa yang disebut ‘Tutur Siwaluh’ (sembuyak, senina, senina sipemeren, senina siperibanen, anak beru, anak beru menteri, kalimbubu, puang kalimbubu).

1 komentar:

Fajar Unika St Medan mengatakan...

Jaya trus seperti fajar Unika