PROFIL LENTERA KARO
Lentera Karo adalah sebuah komunitas yang beranggotakan para pemerhati social budaya Karo. Pada awalnya, komunitas ini didirikan hanya sebagai sebuah perpustakaan yang berupaya mendokumentasikan segala buku-buku yang bernuansakan Karo. Baik itu tentang alam maupun orang Karo. Sedikit demi sedikit buku-buku dikumpulkan, akhirnya menjadi lumayan jumlahnya. Hampir mencapai 500-an judul buku, yang tidak hanya sebatas mengenai Karo. Sebagian buku ini ada yang dibeli, sebagian lagi ada yang disumbangkan dan sebagian lagi ada yang dipinjam copy.
Menjelang usianya yang ke-3, Lentera Karo masih merasakan belum banyak berbuat perihal pendokumentasian literatur-literatur Karo. Masih ada puluhan buku-buku tentang Karo yang diketahui, namun belum dimiliki Lentera Karo. Hal ini dikarenakan keterbatasan dalam amunisi untuk membeli ataupun melakukan perburuan untuk mendapatkan buku-buku tersebut.
Masih seputaran usianya yang menjelang 3 tahun, Lentera Karo mulai melirik, untuk tidak hanya berkecimpung perihal pengelolaan perpustakaan saja. Namun lebih jauh, mulai mengembangkan diri untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan social kemasyarakatan Karo.
Lentera Karo bercita-cita mewujudkan masyarakat yang cerdas, kritis dan mencintai perdamaian. Masyarakat yang dimaksud, adalah masyarakat Karo khususnya, dan Indonesia umumnya. Hal ini dicapai dengan berperan serta dalam memajukan pendidikan, pelestarian serta pengembangan kebudayaan, penyediaan informasi, konsultasi, serta kegiatan lainnya seiring dengan cita-cita lembaga.
Dalam menjalankan kiprahnya, Lentera Karo bersifat nirlaba dan tidak berafiliasi dengan partai politik manapun. Sementara afiliasi pengurus pada partai politik tertentu, merupakan hak individu.
Dalam melaksanakan kegiatannya, lembaga memperoleh dana dari sumbangan para donatur, dari pemerintah, atau bantuan luar negeri yang sifatnya tidak mengikat. Serta penghasilan-penghasilan lain yang diperoleh dari usaha-usaha lembaga yang tidak bertentangan dengan hukum.
PENGURUS LENTERA KARO
Kordinator Umum :
Medi Juna Sembiring
Anggota :
Edison Sembiring
Ngguntur Purba
Eka Myala Dewi Br Sembiring
Tetty Br Barus
Kordinator Kabupaten Langkat :
Herry Lesmana Surbakti
Kordinator Kabupaten Deli Serdang :
Stepanus Gurusinga
Kordinator Kotamadya Medan :
Juliadi Kaban
Kordinator Kabupaten Karo :
E. Iwan Satrya Tarigan
Riwayat Aktivitas Medi Juna Sembiring :
1996-1997 : Anggota Senat Mahasiswa F. Sastra Unika Medan
1997-1999 : Staf Redaksi Buletin Mahasiswa F. Sastra, The Muse
1997-1999 : Wakil Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) F. Sastra Unika Medan
1999-2000 : Pejabat Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) F. Sastra Unika Medan
2000-2001 : Anggota Majelis Perwakilan Mahasiswa (MPM) Unika Medan
2000-2001 : Pemimpin Redaksi Buletin Mahasiswa Unika, Fajar Unika
2001-2002 : Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Diskusi dan Pers, Unika Medan
2003 : Wartawan Koran Harian Sijori Mandiri di Batam (Riau Mandiri Network News)
2004-2005 : Pemimpin Redaksi Tabloid Karo, Sora Mido, di Sumut
2006- 2007 : Perwakilan Sora Mido di Kota Medan
2007 : Ketua Lomba Penulisan Cerita Karo (LPCK) 2007
Kamis, 20 November 2008
LOMBA PENULISAN CERITA KARO (LPCK) 2007
Ketua Lomba Penulisan Cerita Karo (LPCK) 2007 Medi Juna Sembiring (paling kanan) mendampingi Penasehat LPCK El Manik saat penyerahan hadiah kepada para pemenang LPCK 2007, di Restoran Kenanga, Medan Tuntungan, Sabtu, 09/02 2008.
Para peserta dan undangan terlihat antusias mengikut jalannya acara pengumunan dan penyerahan hadiah
Para peserta dan undangan terlihat antusias mengikut jalannya acara pengumunan dan penyerahan hadiah
Juri LPCK 2007 (arah jarum jam: Eka Dalanta br Tarigan, El Manik, Janrika br Sinuraya, Juni Enita br Ginting)
KATA SAMBUTAN PENASEHAT LPCK 2007
EL MANIK
Bermula dari diskusi singkat antara saya dan medi juna sembiring, dua anak manusia dengan usia dan latar belakang yang jauh berbeda. Kalaupun ada persamaan, tiak lain karena kami berdua adalah sama-sama orang Karo.
Tidak disangka, diskusi singkat dari dua kutub yang berbeda itu bisa nyambung dan berkelanjutan dengan melibatkan beberapa rekan mahasiswa lainnya. Karena di antara kami, masing-masing punya kepedulian dan kegelisaan yang sama terhadap kondisi seni budaya karo dan minimnya minat menulis cerita di tengah masyarakat karo itu sendiri.
Dari titik temu dalam diskusi singkat itu akhirnya berbuah ide positif unuk menyelenggarakan Lomba Penulisan Cerita Karo (LPCK) 2007 yang pertama. LPCK diharapkan menjadi sarana berekspresi yang dapat merangsang tumbuhnya minat menulis bagi penulis-penulis muda Karo yang kreatif dan berbakat. Hal ini sebagai bentuk kepedulian kita dalam upaya membangkitkan, memperkenalkan, dan mempopulerkan seni budaya Karo ke masyarakat luas.
Kami juga bersepakat, untuk tahap awal tidak melombakan cerita dongeng. Lomba ini lebih ditekankan pada cerita tentang kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Karo masa kini. Untuk menarik minat masyarakat, kami berinisiatif menyediakan hadiah berupa uang tunai bagi para pemenangnya. pada kesempatan ini, saya juga berharap agar acara ini bisa berkesinambungan hingga waktu-waktu mendatang, tentu dengan peran serta dari masyarakat Karo sendiri, khususnya yang peduli terhadap upaya pengembangan seni budaya Karo.
Sekian sambutan saya selaku penasehat LPCK 2007, selamat bagi para pemenang, jangan pernah bosan berkarya dan bangkitkan kepedulian masyarakat Karo terhadap budaya menulis.
bujur, mejuah-juah kita kerina.
El Manik.
KATA SAMBUTAN KETUA LPCK 2007
MEDI JUNA SEMBIRING
Latar belakang penyelenggaraan Lomba Penulisan Cerita Karo (LPCK) 2007, berawal dari serangkaian diskusi dengan bang El Manik dan sejumlah mahasiswa pemerhati Karo. Diskusi-diskusi tersebut mengkristal terhadap sebuah ide untuk melakukan kegiatan yang mengangkat serta mengaktualisasikan kondisi social budaya masyarakat Karo masa kini dalam bentuk cerita. Guna merealisasikan ide tersebut, maka dibentuklah kepanitiaan LPCK 2007.
Sebagai Ketua Panitia LPCK 2007 dan sebagai pemerhati sosial budaya Karo, saya menghaturkan terima kasih kepada bang El Manik, atas dukungan moril dan materil yang diberikan, sehingga LPCK 2007 dapat terselenggara.
Kritikan dan saran dari berbagai pihak atas penyelenggaraan LPCK 2007 sangat diharapkan, sebagai bahan masukan dan memperkaya nuansa Karo pada umumnya, dan pihak penyelenggara pada khususnya.
Salam hangat,
Medi Juna Sembiring
PANITIA LOMBA PENULISAN CERITA KARO 2007
Kami PANITIA LPCK 2007, mengucapkan terima kasih atas partisipasi berbagai pihak, sehingga Lomba Penulisan Cerita Karo 2007 dapat dilaksanakan. Kritik dan saran demi perbaikan LPCK selanjutnya, sangat kami harapkan.
Salam hangat dari kami,
Panitia LPCK 2007
Penasehat : El Manik
Ketua : Medi Juna Sembiring
Sekretaris : Ahmad Arief Tarigan
Bendahara : Novalinda Tringani br Ginting
Divisi Umum : Tety Silva Kurnia br Ginting
Yunika Margaretha br Ginting
Stepanus Gurusinga
DEWAN JURI
Juru Bicara : Eka Dalanta br Tarigan (Universitas Sumatera Utara - USU)
El Manik (Praktisi Sastra - Aktor Film Senior)
Janrika br Sinuraya (Universitas Negeri Medan - UNIMED)
Juni Enita br Ginting (Universitas Katolik St. Thomas - UNIKA Medan)
Pemenang LPCK 2007
Juara 1 : Ressi Dwiana br Tarigan dengan judul “ Senandung Biru Karo Jahe” (Rp. 2500.000.-)
Juara 2 : Ikarowina br Tarigan dengan judul “Sarang Laba-laba” (Rp. 1.500.000.-)
Juara 3 : Ratni Hardiana br Sembiring dengan judul “Gancih Abu” (Rp. 1000.000.-)
Masing-masing pemenang harapan utama meraih hadiah Rp. 500.000.-
Tomson Panjaitan dengan judul “Aku Cinta Karo”
Nomi br Sinulingga dengan judul “Pemenang Yang Tangguh”
Mekalona br Milala dengan judul “Sebuah Kisah Dalam Tawaku”
Arizona br Maha dengan judul “Duka Yang Menjemput Senja”
Rosa br Ginting dengan judul “Pengorbanan”
EL MANIK
Bermula dari diskusi singkat antara saya dan medi juna sembiring, dua anak manusia dengan usia dan latar belakang yang jauh berbeda. Kalaupun ada persamaan, tiak lain karena kami berdua adalah sama-sama orang Karo.
Tidak disangka, diskusi singkat dari dua kutub yang berbeda itu bisa nyambung dan berkelanjutan dengan melibatkan beberapa rekan mahasiswa lainnya. Karena di antara kami, masing-masing punya kepedulian dan kegelisaan yang sama terhadap kondisi seni budaya karo dan minimnya minat menulis cerita di tengah masyarakat karo itu sendiri.
Dari titik temu dalam diskusi singkat itu akhirnya berbuah ide positif unuk menyelenggarakan Lomba Penulisan Cerita Karo (LPCK) 2007 yang pertama. LPCK diharapkan menjadi sarana berekspresi yang dapat merangsang tumbuhnya minat menulis bagi penulis-penulis muda Karo yang kreatif dan berbakat. Hal ini sebagai bentuk kepedulian kita dalam upaya membangkitkan, memperkenalkan, dan mempopulerkan seni budaya Karo ke masyarakat luas.
Kami juga bersepakat, untuk tahap awal tidak melombakan cerita dongeng. Lomba ini lebih ditekankan pada cerita tentang kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Karo masa kini. Untuk menarik minat masyarakat, kami berinisiatif menyediakan hadiah berupa uang tunai bagi para pemenangnya. pada kesempatan ini, saya juga berharap agar acara ini bisa berkesinambungan hingga waktu-waktu mendatang, tentu dengan peran serta dari masyarakat Karo sendiri, khususnya yang peduli terhadap upaya pengembangan seni budaya Karo.
Sekian sambutan saya selaku penasehat LPCK 2007, selamat bagi para pemenang, jangan pernah bosan berkarya dan bangkitkan kepedulian masyarakat Karo terhadap budaya menulis.
bujur, mejuah-juah kita kerina.
El Manik.
KATA SAMBUTAN KETUA LPCK 2007
MEDI JUNA SEMBIRING
Latar belakang penyelenggaraan Lomba Penulisan Cerita Karo (LPCK) 2007, berawal dari serangkaian diskusi dengan bang El Manik dan sejumlah mahasiswa pemerhati Karo. Diskusi-diskusi tersebut mengkristal terhadap sebuah ide untuk melakukan kegiatan yang mengangkat serta mengaktualisasikan kondisi social budaya masyarakat Karo masa kini dalam bentuk cerita. Guna merealisasikan ide tersebut, maka dibentuklah kepanitiaan LPCK 2007.
Sebagai Ketua Panitia LPCK 2007 dan sebagai pemerhati sosial budaya Karo, saya menghaturkan terima kasih kepada bang El Manik, atas dukungan moril dan materil yang diberikan, sehingga LPCK 2007 dapat terselenggara.
Kritikan dan saran dari berbagai pihak atas penyelenggaraan LPCK 2007 sangat diharapkan, sebagai bahan masukan dan memperkaya nuansa Karo pada umumnya, dan pihak penyelenggara pada khususnya.
Salam hangat,
Medi Juna Sembiring
PANITIA LOMBA PENULISAN CERITA KARO 2007
Kami PANITIA LPCK 2007, mengucapkan terima kasih atas partisipasi berbagai pihak, sehingga Lomba Penulisan Cerita Karo 2007 dapat dilaksanakan. Kritik dan saran demi perbaikan LPCK selanjutnya, sangat kami harapkan.
Salam hangat dari kami,
Panitia LPCK 2007
Penasehat : El Manik
Ketua : Medi Juna Sembiring
Sekretaris : Ahmad Arief Tarigan
Bendahara : Novalinda Tringani br Ginting
Divisi Umum : Tety Silva Kurnia br Ginting
Yunika Margaretha br Ginting
Stepanus Gurusinga
DEWAN JURI
Juru Bicara : Eka Dalanta br Tarigan (Universitas Sumatera Utara - USU)
El Manik (Praktisi Sastra - Aktor Film Senior)
Janrika br Sinuraya (Universitas Negeri Medan - UNIMED)
Juni Enita br Ginting (Universitas Katolik St. Thomas - UNIKA Medan)
Pemenang LPCK 2007
Juara 1 : Ressi Dwiana br Tarigan dengan judul “ Senandung Biru Karo Jahe” (Rp. 2500.000.-)
Juara 2 : Ikarowina br Tarigan dengan judul “Sarang Laba-laba” (Rp. 1.500.000.-)
Juara 3 : Ratni Hardiana br Sembiring dengan judul “Gancih Abu” (Rp. 1000.000.-)
Masing-masing pemenang harapan utama meraih hadiah Rp. 500.000.-
Tomson Panjaitan dengan judul “Aku Cinta Karo”
Nomi br Sinulingga dengan judul “Pemenang Yang Tangguh”
Mekalona br Milala dengan judul “Sebuah Kisah Dalam Tawaku”
Arizona br Maha dengan judul “Duka Yang Menjemput Senja”
Rosa br Ginting dengan judul “Pengorbanan”
Jumat, 02 Mei 2008
Rabu, 23 April 2008
SASTRA KARO SELAYANG DIPANDANG
SASTRA KARO SELAYANG DIPANDANG
Medi Juna Sembiring
ERA SASTRA KARO
Sejak kapankah sastra Karo ada ? sejauh penelitian yang dilakukan penulis, tidak ada penanggalan yang akurat perihal masa pelontaran sastra Karo. Namun, guna memudahkan penelaahan, era sastra Karo dapat dibagi dalam dua masa, yakni Era Klasik dan Era Modern. Yang dimaksud dengan Era Klasik, adalah karya sastra yang lahir sebelum 28 Oktober 1928, yang bercorak cipta kedaerahan. Tema-tema yang di usung, lebih mengedepankan dongeng dan mitos. Seperti, hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan bisa berbicara. Peperangan antara gunung sibayak dan sinabung.
Seperti kisah Ampie Ampio. Cerita rakyat Karo ini berkisahkan tentang suami istri yang berubah menjadi burung. Hal ini dikarenakan anak-anak mereka sangat malas, suka melawan orangtua dan suka berkelahi satu sama lain. Meskipun telah dinasehati berkali-kali, tetap saja tidak ada pertobatan dari anak-anak tersebut. Karena keputusasaan, akhirnya ayah dan ibu mereka berdoa, bersumpah dan meminta agar takdir kehidupannya dirubah apabila anak-anak mereka tetap tidak berubah.
Doa ayah dan ibu tersebut dianggap angin lalu oleh anak-anak mereka. Di penghujung keputusasaan, akhirnya orangtua mereka meminta kepada Penguasa Kehidupan, agar diri mereka diubah menjadi burung yang akan terbang kesana-kemari. Sehingga diri mereka terlepas dari beban penderitaan hidup. AKhirnya, sepasang suami istri tersebut berubah menjadi sepasang burung.
Semenjak kejadian ini, perubahan drastis terjadi pada anak-anak mereka yang merasakan kehilangan mendalam. Mereka sangat menyesali tingkah laku mereka. Yang tadinya malas dan suka bertengkar, tiba-tiba menjadi akur dan rajin sekali. Setiap senja tiba, anak-anak mereka selalu bernyanyi sambil menengadah ke langit ;
Ampie ampio, sora kami erlebuh bandu
Ampie ampio, ulihi kami nande bapa kami
Ampie ampio, ukur metedeh kami la erngadi-ngadi
Ampie ampio melukiskan suara siulan untuk memanggil burung. Pemaknaannya dalam bahasa Indonesia ;
Ampie ampio, suara kami memanggil-manggil dirimu.
Ampie ampio, kembalilah kepada kami wahai ayah ibu kami
Ampie ampio, rasa rindu di hati kami datang tiada hentinya
Penyesalan selalu datang terlambat. Ayah ibu mereka tidak dapat lagi berubah menjadi manusia. Kisah ini sering dijadikan orangtua sebagai dongeng bagi anak-anak mereka sebelum tidur. Dongeng ini memiliki amanah utama, agar anak-anak tidak malas, cinta orangtua dan akur dengan saudara-saudaranya. Amanah tambahan, agar manusia juga mencintai margasatwa yang ada. Karena di ujung cerita diungkapkan, anak-anak tersebut tidak lagi mengenal burung yang mana yang menjadi jelmaan orangtua mereka. Akhirnya, mereka sangat mencintai setiap burung. Dan setiap senja, mereka menaburkan makanan burung di halaman rumah mereka. Dengan harapan, dari puluhan burung yang datang untuk makan, dua diantaranya adalah orangtua mereka.
Sementara Era Modern, ditandai lahirnya nasionalitas Indonesia dengan pengakuan secara resmi bahasa Indonesia dan tanah air Indonesia. Meskipun demikian, penulis belum ada menemukan karya sastra Karo yang bertemakan nasionalitas Indonesia pada masa tersebut. Walaupun begitu, setidaknya gaung Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, juga membahana ke bumi turang meski terlambat beberapa waktu, karena minimnya sarana komunikasi. Tema-tema yang diusung, didominasi oleh gambaran kehidupan social kemasyarakatan.
Pemandangan yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada sastra Indonesia. Beragam pendapat muncul perihal tonggak kelahiran kesusastraan Indonesia. Menurut pandangan Nugroho Notosusanto sebagaimana dikemukakan Rachmat Djoko Pradopo dalam buku Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, 1995, kesusastraan Indonesia lahir seiring berdirinya organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia yang pertama, yakni Budi Utomo, pada 20 Mei 1908.
Namun, penentuan kelahiran tersebut, harus juga didasarkan pada adanya karya sastra nyata, yang bersifat nasional. Kenyataannya, pada tanggal tersebut belum ada karya sastra yang bersifat nasional Indonesia. Ada karya sastra yang terbit sekitar tahun 1920 yang telah berciri nasional dengan bahasa Indonesia. Yakni, roman Student Hidjo karya Mas Marco, 1919 dan Hikayat Kadirun karya Semaun, 1920. Sementara pengakuan secara resmi perihal bahasa, bangsa dan tanah air Indonesia baru dikumandangkan pada 28 Oktober 1928.
Pergumulan dan kegelisahan perihal bunga rampai sastra daerah dan nasional, tidaklah perlu dianggap sebagai penghalang. Tetapi akan lebih nikmat bila dijadikan santapan awal guna menggeluti lebih jauh perihal khasanah sastra. Lebih baik menjaga dan melestarikan apa yang masih tersisa, sembari tetap mencari apa yang masih terasa hilang.
Secara tidak langsung, mau atau tidak mau, sastra Karo merupakan bagian dari sastra Indonesia. Sebab, khasanah kesusasteraan nasional Indonesia, ditopang oleh kesusasteraan daerah yang terdapat dari Sabang hingga Merauke. Jadi, yang menjadi substansi kegelisahan, adalah bagaimana agar Sastra Karo menjadi eksis dan tidak tenggelam diantara `hiruk pikuk` kesusasteraan di Indonesia.
Agar sastra Karo dapat dikenal secara nasional dan internasional, maka sastra Karo itu harus memakai `jalan pengenalan` yang diakui publik sesuai dengan segmen sasaran yang ingin dicapai. Misalkan, menggunakan bahasa Indonesia untuk tingkat nasional, dan minimal menggunakan bahasa Inggris untuk kalangan internasional.
Sementara, penilaian akan kwalitas sebuah karya sastra, cenderung bersifat relatif. Karena, ini tergantung `kaca mata` penelaahan yang dipakai si penerima (pembaca) karya, dan tergantung bagaimana si pembuat karya menyampaikan pesan melalui karyanya. Penilaian tersebut berlaku umum. Terlepas dari pergumulan di atas, upaya-upaya untuk menggali dan mengembangkan karya sastra Karo, baik yang berkembang di Era Karo Klasik dan Era Karo Modern, perlu terus digalakkan. Karya sastra merupakan cerminan sosial sebuah peradaban yang mengandung amanah-amanah kehidupan. sebagaimana kaidah sastra, maka dia akan berkembang dan tumbuh seiring zamannya.
DEFENISI SASTRA KARO
Apakah defenisi sastra Karo ? Apa ciri khas sastra Karo dibandingkan karya sastra suku bangsa lainnya yang ada di Indonesia?. Berbicara tentang Karo, tentu ada dua poin utama. Yakni orangnya dan alam ulayatnya. Merujuk hal tersebut, maka sastra Karo, tentunya karya sastra yang bertautan erat dengan unsur-unsur berikut, yakni :
Pertama, bertautan dengan orang Karo dan system kekerabatan yang dianutnya. Yakni, Merga Silima (Ginting, Karo-karo, Perangin-angin, Sembiring dan Tarigan.), Rakut Sitelu (anak beru, senina/sembuyak dan kalimbubu), Tutur Siwaluh (sipemeren, siparibanen, sipengalon, anak beru, anak beru menteri, anak beru singikuri, kalimbubu, puang kalimbubu) dan Perkade-kaden Sepulu Dua + Sada (Unsur Sepulu Dua = nini, bulang, kempu, bapa, nande, anak, bengkila, bibi, permen, mama, mami, bere-bere).
Sedangkan untuk unsur Sada, beragam pendapat muncul mengenai apa yang dimaksud dengan Sada (Satu) tersebut. Ada tiga tafsir yang muncul. Pertama, Sada merupakan perwakilan dari adanya keyakinan, bahwa terdapat kekuatan yang ada di luar unsur manusia. Keberadaannya tidak terlihat, namun dapat dirasakan. Dia diyakini memiliki kekuasaan atas alam dan manusia. Kedua, Sada merupakan perwakilan dari Ketuhanan sebagaimana yang digambarkan oleh kepercayaan/agama-agama yang masuk ke wilayah nusantara, khususnya wilayah yang didiami suku Karo. Tafsir ketiga, Sada merupakan perwakilan dari suku bangsa lainnya, yang hidup berdampingan dengan suku Karo. Lebih jauhnya lagi, orang yang berasal dari suku bangsa lainnya tersebut, ditabalkan memeluk salah satu dari silima merga. Misalkan karena perkawinan silang, atau eratnya rasa persaudaraan yang terjalin. Dalam beberapa kasus sekarang ini, penabalan merga kepada yang di luar suku Karo, sudah cenderung bermotifkan kebutuhan politik.
Bila merunut ke belakang, ditambahi lagi dengan informasi-informasi yang diperoleh penulis semasa masih remaja (1990-an) dari Alm. Sapih br Purba, yang saat itu berusia 82 tahun, maka penulis cenderung berpendapat kalau yang dimaksud dengan unsur Sada dalam system kekerabatan masyarakat Karo, adalah tafsir yang pertama.
Kedua, mengandung unsur alam/wilayah ulayat Karo. Merujuk kepada hasil rekomendasi dari Kongres Kebudayaan Karo 1996, maka yang disebut dengan Tanah Karo adalah meliputi enam (6) wilayah yang di kawasan tersebut dihuni banyak masyarakat Karo. Antara lain :
1. Kabupaten Karo
2. Kabupaten Dairi (2 Kecamatan : Tiga Lingga dan Taneh Pinem)
3. Kabupaten Deli Serdang (13 Kecamatan : Lubuk Pakam, Bangun Purba, Galang, Gunung Meriah, Sibolangit, Pancur Batu, Namo Rambe, Sunggal, Kutalimbaru, STM Hilir, Hamparan Perak, Tanujung Morawa dan Sibiru-biru)
4. Kabupaten Langkat (8 Kecamatan : Padang Tualang/Batang Serangan, Bahorok, Salapian, Kuala, Selesai, Sungai Bingai, Binjai dan Stabat)
5. Sebagian Aceh Tenggara, yakni daerah Lau Desky, Lau Sigala-gala, Lau Perbunga serta Kecamatan Simadam.
6. Kotamadya Medan, yang dikatakan didirikan Guru Patimpus Sembiring Pelawi.
Ketiga, bahasa penyajian adalah bahasa Karo. Idealnya, menggunakan aksara Surat Haru yang dilandasi tulisan Nagari yang dibawa migran dari India sembari memperkenalkan agama Budha sekitar abad ke-5. Minimal, menggunakan bahasa Karo yang dilandasi huruf latin.
Untuk kwalifikasi pertama dan kedua di atas, adalah hal yang tidak merepotkan untuk masa yang sekarang. Namun, ketika memasuki poin yang ketiga, tentu banyak pergumulan yang perlu direnungkan. Jangankan dulu untuk orang di luar Karo, namun, untuk kalangan masyarakat Karo sendiri, diyakini tidak ada lima persen pun yang masih memahami Surat Haru. Namun, bilamana untuk kebutuhan lokal, dan tujuan untuk melestarikan warisan leluhur, ketiga kwalifikasi di atas perlu dijadikan rujukan utama. Meski demikian, upaya untuk membangun pembelajaran tentang Surat Haru, perlu terus digenjot.
Pemandangan lainnya perihal bahasa adalah, perbedaan mengenai dialek Karo itu sendiri. Menurut penelitian Darwin Prinst, dialek Karo itu terbagi lima. Yakni, Teruh Deleng, Singalur Lau, Liang Melas, Jahe dan Julu. Sedangkan bila menurut pendapat Henry Guntur Tarigan, bahasa Karo terdiri dari tiga dialek utama. Yaitu, Dialek Gunung-gunung, Dialek Kabanjahe dan Dialek Jahe-jahe. Perbedaan dialek tersebut, tentu mempengaruhi pencitraan karya baik melalui lisan atau tulisan. Terutama tulisan yang menggunakan huruf Latin. Sebab, metode pengucapan mempengaruhi penulisan. Belum diketahui pasti, apakah hal tersebut juga akan terjadi bila menggunakan Aksara Haru.
JENIS-JENIS SASTRA KARO
Merujuk kepada Rumusan Seminar Adat Istiadat Karo ke-3 yang diadakan di Kabanjahe, 16-19 Februari 1977, maka jenis ragam sastra yang diwarisi masyarakat Karo adalah : Cakap Lumat, Talibun Gurindam, Lak-lak Kayu, Buku-buku Pustaka, Lagu Tabas-tabas, Lagu Pingko-pingko, Lagu Tangis-tangis dan Lagu Kolong-kolong.
Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan dalam Bunga Rampai Seminar Kebudayaan Karo dan Kehidupannya Masa Kini, Kabanjahe, September 1985, mengemukakan, masyarakat Karo memiliki tradisi sastra lisan dan tulisan.
Sastra lisan merupakan suatu tradisi pada masyarakat Karo. Sastra lisan ini biasanya dipergunakan pada upacara-upacara adat. Seperti upacara melamar gadis, upacara perkawinan, upacara kelahiran anak, upacara menghormati orang yang berusia lanjut, upacara kematian, upacara peletakan batu pertama mendirikan rumah, upacara memasuki rumah baru, upacara memanggil roh, upacara menanam dan menuai padi, upacara pesta tahunan, upacara menolak roh-roh jahat, upacara memanggil hujan, upacara menolak hujan dan lain sebagainya
Bentuk-bentuk sastra lisan yang terkenal pada masyarakat Karo, antara lain:
Ndungdungen : Dapat disamakan dengan pantun Melayu, biasanya terdiri dari 4 baris bersajak abad. Dua baris pertama berisi sampiran dan dua baris terakhir merupakan isi.
Bilang-bilang : Yang berupa ‘dendang duka’, biasanya didendangkan dengan ratapan oleh orang-orang yang pernah mengalami duka nestapa, seperti ibu yang telah meninggal dunia, meratapi idaman hati yang telah direbut orang lain atau pergi mengembara ke rantau orang.
Cakap Lumat : Atau ‘bahasa halus’ yang penuh dengan bahasa kias, pepatah pepitih, perumpamaan, pantun, teka-teki, dan lain-lain. Cakap lumat biasanya digunakan oleh bujang dan gadis bersahut-sahutan pada masa pacaran dimalam terang bulan; atau oleh orang tua pemuka adat dalam berbagai upacara, misalnya upacara meminang gadis.
Turin-turin : Atau cerita berbentuk prosa, misalnya mengenai asal usul marga, asal-usul kampung, cerita bintang, cerita orang sakti, cerita jenaka dan lain-lain. Biasanya diceritakan oleh orangtua pada malam hari menjelang tidur.
Tabas-tabas : Atau mantra-mantra yang pada umumnya hanya para dukun saja yang mengetahuinya. Konon kabarnya kalau para mantra sudah diketahui orang banyak maka keampuhannya akan hilang.
Kuning-kuningen : Atau ‘teka-teki’ yang dipergunakan oleh anak-anak, pemuda-pemudi,orang dewasa diwaktu senggang sebagai permainan disamping mengasah otak.
Sastra tulis juga dikenal oleh masyarakat Karo. Sastra tulis pada masa lampau, sebelum lahirnya mesin cetak, menggunakan laklak atau kulit kayu dan bamboo sebagai media komunikasi. Tulisan tersebut menggunakan surat Karo ’Aksara Karo’ yang berupa huruf silabis ( semua huruf atau silabe dasar berbunyi a ) yang biasa disebut: haka bapa nawa yang merupakan enam silabe pertama aksara Karo.
BEBERAPA KARYA ORANG KARO DI ERA 50-AN, 60-AN DAN 70-AN
MENGENAI SASTRA DAN KEBUDAYAAN KARO
Pada tahun 1952, Balai Pustaka menerbitkan karya P. Tamboen ‘Adat Istiadat Karo’ (206). Buku ini merupakan pelopor mengenai adat istiadat Karo karya putra Karo sendiri. Buku ini terdiri atas 11 bab, yang berturut-turut memaparkan mengenai letak geografis, sejarah penduduk, pemerintahan, pengadilan, keuangan, persawahan, pengajaran, kesehatan, bank anak negeri.
Pada tahun 1958 Toko Bukit menerbitkan “Isi Kongres 1958” yang berjudul Sejarah Adat Istiadat dan Tata Susunan Rakyat Karo (134 halaman). Dalam Kongres Kebudayaan Karo yang diketuai oleh Mr. Roga Ginting terdapat seksi adat yang terdiri atas 4 subseksi, yaitu :
1. Sejarah Adat/Tata Susunan Rakyat
2. Adat Kekeluargaan
3. Hukum Adat Tanah
4. Hukum Perselisihan.
Pada tahun 1960, Masri Singarimbun menampilkan karyanya ‘1000 Perumpamaan Karo’ yang diterbitkan oleh CV. Ulih Saber di Medan. Suatu usaha yang amat berguna bagi masyarakat Karo serta pendokumentasian bahasa dan sastra Karo. Sayang teks perumpamaan Karo itu tidak disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Hal ini menyebabkan penyebarluasannya terbatas pada masyarakat Karo serta orang-orang yang mengerti bahasa Karo saja. Tebal buku 175 halaman.
Pada tahun 1965, Henry Guntur Tarigan menerbitkan ‘nurenure di Karo’ (85 halaman) di bandung, yang memuat percakapan dalam cakap lumat ‘bahasa halus’ antara bujang dan gadis, mulai dari pertemuan pertama, masa pacaran, sampai perkawinan. Teks bahasa Karo disertai dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia.
Pada tahun 1972 di Bandung, Henry Guntur Tarigan dan Djago Tarigan telah menerbitkan dua jilid ‘ Syair Lagu-lagu Karo’, masing-masing 105 halaman dan 110 halaman yang masing-masing memuat 41 dan 45 teks syair lagu Karo disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia.
Pada tahun 1972, Rahmat Tarigan tampil dengan karyanya ‘Tambaten Pusuh’ (108 halaman) yang merupakan kumpulan 4 cerita pendek dan 26 puisi. Teks bahasa Karo disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia.
Pada tahun 1975, Penerbit Yayasan Kobe di Delitua, Medan, telah menerbitkan cerita ‘Pawang Ternalem’( dalam dua jilid ).
Pada tahun 1976, Jaman Tarigan telah menyelesaikan penyusunan Pantun Karo: Anak Perana ras Singuda-nguda yang diterbitkan oleh Percetakan Toko Buku Mbelin Gunana di Kabanjahe ( 145 untai pantun )
Pada tahun 1976, Toko Bukit menerbitkan brosur, yaitu karya Raja Malem Bukit yang berjudul “Peranan Marga Dalam Perkawinan Adat Karo” (30 halaman). Kedua karya di atas, yaitu karya Jaman Tarigan dan Raja Malem Bukit dapat saling mengisi, saling melengkapi satu sama lain.
Pada tahun 1977, Henry Guntur Tarigan telah menyusun sebuah naskah ‘Tabas-tabas Karo’ ( 40 halaman). Teks bahasa Karo disertai terjemahan bahasa Indonesia.
Pada tahun 1977, Henry Guntur Tarigan menerbitkan ‘Percikan Budaya Karo’ yang merupakan kumpulan karangan mengenai budaya Karo yang pernah dimuat dalam beberapa majalah di Jakarta, Bandung, Jogya (229 halaman)
Pada tahun 1977, Toko Bukit menerbitkan karya Ngukumi Barus dengan judul ‘Guru Pertawar Reme ras Perdagang Ganggang’ ( 24 halaman ) dalam bahasa Karo tanpa terjemahan dalam bahasa Indonesia. Dan pada tahun 1978 Toko Bukit pun menerbitkan ‘ Sekelumit Dari Cerita-cerita Karo’ (30 halaman) yang dikumpulkan oleh S.P. Keliat.
Pada tahun 1977, Palestin Sitepu muncul dengan karyanya yang berjudul “Kesenian Tradisional Karo” (58 halaman), di Medan. Buku ini terdiri atas 14 bab yang berturut-turut membicarakan : seni musik Karo tradisionil, pola teori Karo tradisionil, peraturan-peraturan gendang, upacara kematian, para seniman tradisionil Karo, ose-ose (busana tradisional Karo), teori jenis hiburan, guro-guro aron, nure-nure, upacara-upacara religius, upacara berhubungan dengan adat-istiadat, rumah adat Karo, merga silima, pentahbisan merga kepada orang bukan orang Karo.
Pada tahun 1978, Henry Guntur Tarigan telah pula menyelesaikan naskah ‘Tendi Nipi’ Tafsir Mimpi, (100 halaman). Setiap teks mimpi disertai terjemahan dan penjelasan dalam bahasa Indonesia.
Pada tahun 1978, Toko Bukit menerbitkan sebuah brosur karya seorang pensiunan ABRI, Jaman Tarigan yang berjudul “Gelemen Merga Silima, Iket Sitelu, Tutur Siwaluh Kalak Karo” (25 halaman), yang memaparkan apa yang disebut ‘Merga Silima’ (Karokaro, Ginting, Perangin-angin, Sembiring, Tarigan), apa yang disebut ‘Iket Sitelu’ (senina, kalimbubu, anak beru) dan apa yang disebut ‘Tutur Siwaluh’ (sembuyak, senina, senina sipemeren, senina siperibanen, anak beru, anak beru menteri, kalimbubu, puang kalimbubu).
Langganan:
Postingan (Atom)